Pendidikan Menuju Generasi Emas 2045, Polemik SKB Tiga Menteri

  • Administrator
  • Senin, 10 Mei 2021 10:27
  • 52 Lihat
  • Nasional

Ck.CitaKaltara.Com   10 Mei 2021

Nasional

JAKARTA - Menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri dalam negeri, dan menteri agama mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang seragam sekolah. SKB ini menuai polemik dan menjadi sorotan publik. Akan tetapi ada juga yang menilai SKB itu tidak menjawab persoalan utama pendidikan era pandemi Covid-19.

Regulasi baru itu mengatur penggunaan pakaian seragam serta atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ditandatangani pada 3 Februari 2021, aturan baru ini terkesan reaksioner.

Setelah melalui proses, Mahkamah Agung membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang mengatur tentang penggunaan seragam bagi siswa dan tenaga pendidik di sekolah dasar dan menengah.

Dalam amar putusannya, MA mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil nomor perkara 17/P/HUM/2021 yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat sebagai pemohon.

MA menyatakan bahwa SKB 3 Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tanggal 3 Februari 2021 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang lebih tinggi itu antara lain Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

SKB seragam sekolah ini diterbitkan karena adanya insiden pemaksaan pemakaian jilbab terhadap siswi non muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Hal tersebut kontroversial dan bertentangan dengan 3 undang-undang. Tiga undang-undang itu adalah Undang Undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 tahun 2014) dan Undang Undang Pemerintah Daerah (UU No. 23 tahun 2014).

Membongkar Persoalan Pendidikan | Pedoman Bengkulu

Staf Khusus Menag Mohammad Nuruzzaman menjelaskan, tujuan terbitnya SKB tersebut untuk memperkuat nilai-nilai persatuan bangsa, toleransi, moderasi beragama dengan bingkai kebhinekaan yang ada di Indonesia. Dengan diatur lewat SKB, pemerintah justru bertekad menumbuhkan rasa aman dan nyaman, utamanya bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

“Kami berharap dengan SKB ini justru meminimalisasi pandangan intoleran baik terhadap agama, ras, etnis dan lain sebagainya. Kami sampaikan ucapan terima kasih atas besarnya dukungan masyarakat selama ini,” tutur Zaman.

Pembatalan SKB 3 Menteri soal larangan mewajibkan seragam berdasarkan agama, kata Satriwan Salim selaku Koordinator Nasional P2G, memang mengkhawatirkan. Ia khawatir pembatasan SKB 3 Menteri soal seragam sekolah membuat praktik intoleransi semakin berkembang. Menurut Satriwan, kondisi itu tentu saja akan membuat sekolah tak lagi menjadi tempat menerima perbedaan.

Kasus intoleransi di sekolah telah terjadi secara terstruktur dan bukan kasus baru. Sikap intoleransi di sekolah baik oleh guru, kepala sekolah, atau kepala daerah seringkali beralasan diatur oleh peraturan daerah dan sejenisnya.

Dalam catatan P2G, misalnya pernah ada kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 2017 dan SD Inpres 22 Wosi Manokwari, Papua, pada 2019. Intoleransi juga sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali pada 2014.

Senada dengan itu, kasus intoleransi juga terjadi di salah satu SMPN di Kabupaten Banyuwangi dimana semua siswa diwajibkan memakai jilbab pada 2017, sedangkan di salah satu SDN Kabupaten Gunung Kidul mewajibkan semua siswa kelas 1 memakai busana Muslim pada 2019.

Akan tetapi persoalan pendidikan era pandemi tidak hanya itu saja. Salah satunya adalah mengantisipasi terjadinya learning lost sepanjang era pandemi. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi X DPR pada Kamis (21/1), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno membenarkan adanya fenomena learning lost. Indikatornya dapat diamati dari hilangnya pengalaman dan kemampuan belajar sebagian besar peserta didik.

Menurut hasil penilaian dan diagnostik awal dari para guru, ditemukan lebih dari separo peserta didik tidak memenuhi standar kompetensi. Itu berarti ketuntasan pembelajaran pada era pandemi tidak pernah tercapai. Karena itulah, semua elemen bangsa harus menjadikan ancaman learning lost sebagai perhatian. Jika learning lost terus terjadi, anak-anak dipastikan tidak tumbuh kembang dengan baik (child well-being). Mereka juga terancam menjadi bagian dari generasi yang hilang (lost generation).

Padahal, pemerintah telah mencanangkan peta jalan (road map) pendidikan menuju generasi emas 2045. Saat itu negeri tercinta akan memanen bonus demografi, tepat bersamaan dengan perayaan satu abad kemerdekaan RI. SKB seragam sekolah sama sekali tidak berhubungan dengan cita-cita mewujudkan generasi emas 2045. SKB ini juga tidak berkaitan dengan persoalan mutu pendidikan era pandemi. Sebagian kalangan bahkan berpendapat bahwa SKB seragam sekolah dapat menjadi pintu masuk penanaman ideologi sekularisme dan liberalisme.

Pengertian dan Tujuan Pendidikan dalam Pembelajaran

Pandangan itu, misalnya, dikemukakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Sekularisme dipahami sebagai paham yang mengajarkan ’’pemisahan’’ antara urusan dunia/politik pemerintahan (profan) dan agama/akhirat (sakral). Spirit kebebasan memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan agama tertentu sebagaimana diatur dalam SKB juga potensial memicu liberalisme. Atas nama kebebasan, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dapat memilih mode berpakaian sesuai dengan kehendaknya.

Para pengkritik SKB seragam sekolah menilai peraturan ini justru akan menjauhkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari ajaran agamanya. Padahal, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 merumuskan tujuan pendidikan dengan narasi mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Spirit religiusitas dalam UU Sisdiknas penting dikedepankan.

Sementara itu, kelompok lain berpandangan bahwa secara substantif tidak ada yang perlu dipersoalkan dari SKB seragam sekolah. Apalagi, SKB ini menegaskan bahwa sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. SKB juga bertujuan untuk memperkuat moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang dianut peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Beberapa diktum ini menjadi landasan ideologi perumusan SKB seragam sekolah.

Pada konteks itulah, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Abdul Mu’ti meminta agar SKB seragam sekolah tidak dibesar-besarkan. Dari segi materi dan substansi, SKB juga sesuai dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Sejalan dengan itu, SKB memerintah pemerintah daerah atau sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan agama tertentu.

Dengan ketentuan yang ada dalam SKB itu, berarti pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang atau mewajibkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memakai seragam dan atribut sesuai dengan kekhasan agama tertentu. Pilihan memakai seragam dan atribut sesuai dengan kekhasan agama tertentu sepenuhnya diserahkan pada keputusan individu peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Pertanyaannya, bagaimana dengan peserta didik yang secara psikologis dan kadar pemikiran belum memiliki pemahaman memadai untuk menentukan pilihan?

Dalam kondisi ini, orang tua dan pendidik memiliki peran penting untuk mendidik dan membimbing anak-anak sehingga mampu memilih yang terbaik. Termasuk memilih seragam sekolah sesuai dengan ajaran agama dan kearifan lokal setiap daerah. Untuk itu, peserta didik harus memperoleh penjelasan yang utuh mengenai adab berpakaian menurut ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan cara itu, peserta didik memiliki wawasan yang luas sehingga mampu memilih yang terbaik untuk kehormatan dirinya. Peserta didik juga memiliki kesiapan untuk hidup dalam suasana yang beragam. (*)

 

 

 

Komentar

0 Komentar